Sabtu, 17 April 2010

KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL

            Bab. 1

I. PENDAHULUAN

            Pada zaman sekarang banyak orang dalam sebuah kelompok (sosial) atau sebagai individu yang secara “pengetahuan” mengenal baik-buruk, namun di dalam kehidupan kesehariannya, hanyalah sisi buruknya saja yang dipraktekan bahkan dengan sengaja terkadang menjadikan “nilai” yang ada mempunyai arti yang multitafsir. Agar dalam sebuah kelompok(sosial) atau sebagai individu menjadi lebih baik sebaiknya dalam keseharian mempunyai nilai-nilai moral tinggi dan mampu menjalankan. Salah satu nilai moral yang harus di jalankan oleh sebuah kelompok social atau sebagian individu adalah mengenai akhlak dan etika yang harus dibenahi untuk menjadi kan nilai tersebut sebagai nilai yang positif. Yang mana akhlak dan etika ini harus mencontoh dari para ahli tasawuf.

 

JAKARTA, 9 OKTOBER 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab. 2

II. PEMBAHASAN

A.    Pengertian

            Kesolehan merupakan pondasi dasar yang harus dicapai oleh setiap individu dan setiap masyarakat .(sosial). Didalam kehidupan berindividu kita harus mempunyai banyak amal ibadah yang baik, untuk mencapai tingkat kesalehan. Sebab kesalehan itu merupakan pokok cerminan diri manusia yang baik. Sedangkan didalam kehidupan social kita juga harus mempunyai amal ibadah yang baik pula, diantaranya:

1.      Membantu teman/ orang lain yang sedang terkena musibah.

2.      mempunyai sikap sopan santun dihadapan public

3.      Mempererat tali silaturrahim

B.     Ciri- ciri Kesalehan Individual dan Sosial

Dalam ajaran islam setiap individu dan sosial untuk menciptakan tingkat kesalehan maka harus memelihara sifat-sifat terpuji dan akhlak yang baik Diantara ciri-ciri kesalehan untuk menciptakan hal tersebut yaitu :

1.      Kebajikan yang mutlak

Islam menjamin kebajikan karna islam telah menciptakan akhlak yang luhur. Ia menjamin kebaikan yang murni untuk perorangan atau masyarakat pada setiap keadaan dan waktu bagaimanapun.

2.      Kebajikan yang menyeluruh

Akhlak islami menjamin kebaikan untuk seluruh umat manusia, baik segala zaman semua tempat mudah tidak mengandung kesulitan dan tidak mengandung perintah barat yang dikerjakan oleh umat manusia diluar kemampuannya.

 

3.      Kemantapan

Aklak islamiah menjamin kebaikan yang mutlak yang sesuai pada diri manusia. Ia bersifat tetap langgeng, dan mantap, sebab memeliharanya dengan kebaikan.

4.      Kewajiban yang dipatuhi

Akhlak yang bersumber dari agama islam wajib ditaati manusia, sebab ia mempunyai daya kekuatan yang tinggi. Menguasai lahir batin dalam keadaan suka dan duka. Juga tunduk pada kekuasaan rohani yang dapat mendorong untuk tetap berpegang kepadanya.

5.      Pengawasan yang menyeluruh

Agama islam adalah pengawasan hati nurani dan akal sehat. Islam menghargai hati nurani bukan dijadikan tolak ukur dalam menyatakan beberapa usaha. Firman Allah Qur’an (surat Al-Qiamah 1-2) [1]

Iw ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ÇÊÈ Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ

“Aku bersumpah demi hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (surat Al-Qiamah 1-2)[2].

 

C.    Tanggung Jawab Individual dan Sosial

a.       Tanggung Jawab Sosial

            Manusia adalah makhluk sosial yaitu, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan orang lain untuk menemani dan menjalani hidup bersamanya. Hidup bersama tersebut dinamakan hidup bermasyarakat. Dalam menjalani hidup bermasyarakat tersebut, tentu ada aturan dan kesepakatan yang dibuat oleh anggota masyarakat untuk saling melindung, menjaga dan bekerja sama melindungi hidupnya.

            Keshalehan tersebut berkaitan dengan saling menjaga, saling melindungi, saling menolong yang semuanya mengarah kepada kemakmuran dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

b.      Tanggung Jawab Individual

            Fitrah manusia adalah cendrung kepada kebaikan, dan tanggung jawab merupakan bagian dari fitrah tersebut. Oleh karenanya perbuatan buruk merupakan sesuatu yang bertentangan dengan moralitas manusia. Baik buruknya moral berkaitan dengan hubungan individu dengan faktor eksternal diluar dirinya, seperti masyarakat dan lingkungannya.

 Didalam ajaran agama islam, untuk melihat kekuatan dan kelemahan iman, dilihat dari tingkah laku (akhlak) karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati.   

D.    Pengklasifikasian kesalehan Individual dan Sosial

a.      Keshalehan Aqidah

Ini merupakan inti dan ruh ketegaran. Untuk memperoleh keshalihan aqidah, seorang muslim harus memiliki keyakinan dapat menjalankan tauhid Rububiyah (tauhid yang mengakui adanya allah), tauhid Uluhiyah (tauhid ibadah, tauhid Al Iradah dan Al Qasdu (keinginan dan tujuan)).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

}§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# 玍ÅÁt7ø9$# ÇÊÊÈ

 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).

Keshalehan aqidah menjadi momentum penting yang mengarahkan otentisitas perjalanan hidup manusia. Nuansa spiritual begitu kental mengiringi perjalanannya dan menjadikannya sebagai modal bagi manusia untuk menjalin kedekatan diri dengan Tuhannya. Sebagai wujud dari dimensi ruhaniah-spiritual, kewajiban melaksanakan salat sebagai bukti realisasi keimanan dan ketakwaan ke hadirat-Nya, guna menjadi landasan hidup agar berjalan lebih otentik. Otentisitas hidup ini perlu ditanamkan kuat-kuat kepada Tuhan, sehingga muncul kesadaran ketuhanan (God consciousness) untuk dijadikan pijakan dalam menyongsong perjalanan hidup ini. Kesadaran ketuhanan inilah yang menjadi pancaran tauhid yang menerangi arah perjalanan hidup manusia dan sekaligus menghilangkan hasrat ketergantungan kepada unsur-unsur lain. Untuk menjaga eksistensi spiritual diperlukan pembersihan batin manusia secara konstan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai keimanan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual. Kesadaran inilah yang membentuk karakter kesalehan spiritual dalam diri manusia. Fenomena yang berkembang selama ini orang yang secara individual dianggap saleh, ternyata dalam lingkup sosial kemasyarakatan kesalehan tersebut tidak teraktualisasikan. Hal ini terkesan ada jarak yang memisahkan antara kepentingan yang sifatnya individual dan kepentingan sosial. Padahal agama mengajarkan perlunya keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah, individual dan sosial kemasyarakatan, maupun duniawi dan ukhrawi. Sudah seharusnya kesalehan tersebut menjadi etika personal-individual yang terobjektivikasikan ke dalam dimensi publik yang membentang luas. Manusia yang menangkap kompleksitas spirit dimensi ini, diharapkan mampu merefleksikan kesalehan spiritual yang sifatnya personal-individual ke dalam ruang lingkup kesalehan publik dan sosial. Inilah bentuk ujian yang sebenarnya dalam mengaktualisasikan dimensi kesalehan spiritual ke hadirat Tuhan.

b.      Keshalehan Ibadah

Dalam Islam, ibadah adalah penghubung antara seorang hamba dengan Allah, yang merupakan puncak ketundukan dan kepasrahan total terhadap kebesaran-Nya. Ibadah tidak terbatas dalam bentuk shalat, puasa, zakat dan haji, tapi meliputi seluruh amal dan kegiatan seseorang dalam hidupnya. Seperti disebutkan dalam firman Allah swt,

Ÿw y7ƒÎŽŸ° ¼çms9 ( y7Ï9ºxÎ/ur ßNöÏBé& O$tRr&ur ãA¨rr& tûüÏHÍ>ó¡çRùQ$# ÇÊÏÌÈ

“Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".[3]

Untuk memperoleh keshalehan dalam ibadah seorang muslim harus menjadikan semua dimensi kehidupannya hanya berorientasi pada keridhaan Allah swt. Secara praktek hal itu dijelaskan oleh Rasulullah SAW, “Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Selain itu ibadah harus dilakukan sepenuh hati dan khusyu’. Rasulullah SAW, menurut Aisyah ra, “bila datang waktu shalat dan kami sedang berbicara, seolah-olah ia tidak mengenal kami dan kami tidak mengenalnya. Keshalihan dalam beribadah juga bisa bermakna, dengan memperbanyak dan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT, melalui ragam ibadah sunnah. Sebab melaksanakan ibadah sunnah seperti itu, dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, akan menjadi syarat kecintaan Allah pada hamba-Nya. Dan bila Allah sudah cinta pada hamba-Nya, “Maka Aku akan menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar. Aku akan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat. Aku akan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menghela. Aku akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan bila ia meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya. Bila ia meminta perlindungan-Ku, pasti Aku akan melindunginya.

c.       Keshalehan Akhlak    

Keshalihan dalam aspek ini sebenarnya merupakan buah dari keshalihan aqidah dan ibadah. Artinya, keshalihan dalam aqidah dan beribadah otomatis melahirkan keshalihan dalam akhlak dan prilaku. Akhlak yang baik adalah bukti keimanan. Tak ada arti iman tanpa akhlak yang baik. Banyak cara untuk memiliki keshalihan akhlak. Antara lain dengan memelihara diri dari berbagai bentuk syubuhat, atau perkara yang tidak jelas hukum halal dan haramnya. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah saw pernah mengingatkan bahwa kecerobohan dalam melakukan sesuatu yang syubhat,

dapat menggelincirkan pelakunya kepada dosa. “Barangsiapa yang memelihara diri dari syubuhat, berarti ia telah memelihara agama dan kehormatannya,” kata Rasulullah saw. Bentuk lainnya adalah menundukkan pandangan dari segala sesuatu yang diharamkan memandangnya. Termasuk shalih dalam akhlak adalah bersikap sabar dan pemaaf. Perjalanan hidup seseorang, apalagi seorang da’i, kerap dihiasi ujian kesulitan dan penderitaan. Tapi itulah sunnatullah dalam da’wah. Karenanya setiap muslim dianjurkan memiliki sikap sabar dan pemaaf dalam menyikapi berbagai persoalan.

d.      Keshalehan Keluarga

Tingkat keshalihan secara pribadi, harus tercermin pada keshalihan keluarga. Karena keluarga Islam, dibangun di atas amanah Allah yang akan dimintakan tanggung jawabnya di akhirat. Allah SWT berfirman,

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[4]

            Dan karena keluarga adalah miniatur masyarakat, maka keshalihan keluarga pasti berdampak pada keshalihan masyarakat. Keshalihan dalam keluarga sangat bergantung pada keshalihan individunya, terutama suami sebagai kepala rumah tangga. Untuk memperoleh keshalihan dalam berkeluarga, sejak awal seorang muslim harus menjadikan motivasinya berkeluarga adalah dalam kerangka taat kepada Allah swt, menjaga pandangan dan memelihara kehormatannya. Bila ini dilakukan, maka Allah SWT akan menjamin kebutuhannya. [5]

III. KESIMPULAN

Secara harfiah kita semua telah paham bahwasanya keshalehan merupakan pribadi yang diinginkan oleh umat beragama. Kesalehan biasanya didasarkan pada tingkah laku manusia yang dinilai oleh orang baik dan oleh Allah pun baik. Walaupun etika tingkah laku perbuatan manusia beraneka ragam,dan  didasarkan pada norma etika yang berlaku baik maka akan dinilai baik. Sebagaimana yang terterap pada firman Allah.

`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah : 7-8).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IV. DAFTAR PUSTAKA

Musthofa Ahmad, Akhlak Tasawuf, Bandung: PT. Pustaka setia, 1999.

Sinaga Hasannudin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

http//:www.keshalehan individual dan sosial.com

http//:www.kesalehan individual dan sosial.com

 

 



[1] Musthofa Ahmad, Akhlak Tasawuf, Bandung: PT. Pustaka setia, 1999. Hal. 152-153

[2] Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal Kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.

 

[3] QS. Al-An’am : 163

[4] QS. at-Tahrim : 6

[5]  Sinaga Hasannudin, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. hal.  141-149

1 komentar:

  1. assalamuallaikum, apa makalah ahlak individual dan sosial apa cocok dengan artikel yang ini gak

    BalasHapus